Berita Terbaru :

Hukuman Adat Bagi Pelanggar Adat

Kamis, 19 April 2012


Reporter: Kano Tontolawa
Editor: Fahmi Gobel

Bila ada sebuah kejadian seorang ayah  menghamili anak kandungnya, maka ada sangsi berat yang di berlakukan kepada pelaku, yaitu sanga ayah bejat tersebut, ditanam  dalam tanah setengah badan bersama anak yang dihamilinya, lalu dilempari batu hingga mati.

Dulu kala, masih dipercaya soal Mongonggaing (tukang santet) bila terbukti perbuatannya, maka hukuman berat akan menimpah kepadanya, yakni ditanam dalam tanah setengah badan lalu dibakar hingga mati. Ada juga perbuatan bejat lain, yakni Domok, yaitu menangkap seorang wanita dalam rumah dan menggagahinya, akan dikenakan sangsi Mobogoy biasa. 

Namun, kalau Mondomok asal kata Domok yang dilakukan saat wanita sedang mandi di sungai atau tempat umum, maka akan dihukum denda Mobogoi atau keduanya dikawinkan bila masing-masing belum menikah. Tapi kalau seorang isteri kedapatan tidur dengan pria lain yang bukan suaminya, dikenakan denda berat karena berzina (nokitualing). Dendanya berupa tali’ (maskawin) sesuai yang ditetapkan oleh lembaga adat. Denda itu dibayarkan kepada suami atau keluarga pihak suami dan kepala adat. Seorang isteri yang dibawa lari oleh pria yang bukan suaminya, disebut  Tualing Tangag (zinah lari). 

Pria membawa lari  akan dikenai hukuman berupa membayar denda,  butung in atasiow kopulu’ im pangkoinya, artinya jarak dan setiap yang dilalui akan dikenai sangsi, misalnya sebuah kaki tembaga sebagai pohon (pangkoi), sehelai sikayu hijau sebagai dahan (tanga), dan sembilan piring antik sebagai daun.  Juga setiap sungai yang dilalui dihitung, dengan denda sebuah piring antik bernilai satu ringgit.

Sangsi adapt lainnya diberlakukan kepada pelanggar adat misalnya seseorang memfitnah atau menghina orang lain, dan bila yang dihina keberatan, maka si pembawa fitnah harus membayar denda (momogoi) kepada tua-tua desa atau kepala adat yang menyidangkan hal itu.

Bila ada juga seseorang membuat keributan dalam desa harus maka dia harus Mogompat kon lipu’, yaitu membayar denda untuk desa yang diterima oleh penguasa adat.
Adapun bila ada seseorang mencaci maki orang lain tanpa diketahui kesalahannya, bila yang dicaci berkeberatan, maka si pencaci harus membayar denda,  karena Indoi’on (tidak dibenarkan) oleh pihak yang dirugikan. Denda itu sebagian untuk penguasa adat, sebagian untuk orang yang dicaci.
Bila ada seorang anak melukai anak orang lain, ia harus membayar jaminan kepada anak yang dilukai, dengan istilah Bobodan (pengobat luka). (*)

Share this Article on :